Sabtu, 26 Maret 2011

Ketika Tuhan Jatuh Cinta


Tuhan tak pernah jatuh cinta!! Begitu kata wanita yang setiap sore aku ajak bicara di seberang masjid. Mukanya mulus, begitupun kulitnya. Seperti selalu terawat setiap hari. Apalagi setiap kali menjelang malam, maka kulitnya semakin mengkilap. Dibalut setelan baju yang, kata orang, seronok, wanita itu berkeliaran sepanjang malam. Entah sampai kapan, hingga kulitnya habis tergasak kekasaran lelaki, yang entah dari mana mereka datang.

Wanita itu bersikeras bahwa Tuhan tak pernah jatuh cinta. Ia bahkan sempat melotot. Sebuah kejadian yang sampai detik itu tak pernah nampak dari raut mukanya.

Tapi.... Saya membela diri. Dia pun semakin berkeras hati. Lalu tertawa panjang, seolah dengan senang hati mengejek katakata saya.

Diamdiam, sebelum pergi, saya berbisik kecil padanya. "Tuhan jatuh cinta padamu!" lalu ia berlalu. Tanpa katakata, kecuali tangisan yang membawanya pergi dalam gelap. Sampai suatu pagi, di tempat kami sering bertemu, ia kembali bertanya, "Bolehkah kubalas cintaNya?"

Ah, puitis sekali pagi itu. Tapi aku segera pergi setelah mengangguk. Aku harus menjalani ritual harian, masuk kampus, duduk mendengar kuliah hingga sore menjemput lelah yang menggelayut.

***

Wanita itu tak lagi terlihat di tempat kami biasa bertemu. Kecuali, di kepalanya telah tersangkut kerudung hijau... Dari ibunya waktu ia kecil dulu, katanya. Ah, senangnya. Ketika ia tak lagi berkeliaran laiknya kunangkunang malam dan bedak di wajahnya berganti sucinya thaharah menjelang wudhu.

Ah, senangnya. Ketika Tuhan jatuh cinta, dan mereka pun jatuh cinta.